Lebaran di Rantau Sudah tidak ada Rasa, Sudah Menjadi Biasa aja
Kurang
lebih ungkapan sepeti itu dikatakan oleh salah satu rekan saat sedang bersama-sama
silaturahmi lebaran tahun ini (2021 –1442 H). Tentu bukan tanpa alasan, ini
karena memang sudah beberapa tahun kami berlebaran di tanah rantau.
Sedikit
bercerita, sejak tahun 2016 saat aku mulai merantau ke Yogyakata, sampai tahun
ini 2021 aku menghabiskan 4x (empat kali) bulan Ramadan dan lebaran Idul Fitri
di Yogayakarta, yaitu pada tahun 2016, 2017, 2020 dan 2021. Jadi selama 6
(enam) tahun terakhir hanya 2x (dua kali) aku ramadhan dan Idul Fitri di Aceh.
Walaupun
bigitu, aku sebenarnya masih rutin pulang ke Aceh setahun sekali, hanya saja
kadang jadwal pulang ku tidak pada bulan Ramadan dan Idul Fitri. Seperti pada
tahun 2020 kemarin, akibat pandemi aku gagal mudik pada saat bulan Ramadan dan
Idul Fitri, sehingga aku baru mudik pada akhir tahun lalu.
Sedangkan
pada tahun 2017, aku mudik pada saat lebaran Idul Adha, karena pada saat itu,
ujian akhir semester (UAS) baru dilaksanakan setelah lebaran Idul Fitri
sehingga, aku memilih untung pulang pada saat liburan panjang setelah UAS.
Seketika
aku mencoba merenung sesaat, ungkapan tersebut ternyata amat sangat sesuai dan
masuk akal, karena semakin kesini aku semakin tidak ada rasa ketika melewati
bulan Ramadan dan Idul Fitri di perantauan, sangat berbeda ketika pertama kali
melewati bulan Ramadan serta Idul Fitri jauh dari keluarga dan kampung halaman,
sedih tentu, namun tidak sampai menangis, ungkapan hati sempat aku ceritakan
pada blog ini dengan dengan judul Cerita Puasa Ramadan si Anak Rantau dan CeritaLebaran si Anak Rantau
Sejujurnya
aku belum berani mengklaim diri sebagai orang yang peka dan memiliki rasa yang
kuat, namun jika berbicara masalah rasa rindu saat berjauhan dengan keluarga,
aku jadi ingat dua momen saat masih kecil yang sebenarnya sedikit memalukan.
Pertama
adalah ketika aku masih berumur (kalo tidak salah) 10 tahun. Ketika libur
sekolah, aku ikut ke luar kota bersama sepupuku dan ayahnya. Hal yang memalukan
adalah saat aku berani mengetok pintu kamar ayah sepupu ku pada malam hari untuk
meminjam handphone dengan tujuan untuk menelpon orang tua ku. Alasannnya adalah
karena aku kangen sama orang tua ku dan membuat malam itu aku tidak bisa tidur
sama sekali.
Kedua
adalah ketika aku baru duduk di bangku SMP, atau saat umurku sekitar 12 tahun. Karena
sekolah SMP ku adalah pesantren, jadi wajib asrama, yang memalukan adalah,
padahal jarak rumah dan sekolah SMP ku bisa dibilang cukup dekat, namun tetap
saja, aku pernah menangis dan sedih karena kangen sama orang tua dan keluarga
ku.
Namun
hal-hal tersebut saat ini benar-benar hilang, mungkin faktor usia juga yang
membuat aku tidak sepeti dulu, yang sedih ketika berjauhan dengan keluarga. Selain
faktor usia yang paling mungkin juga adalah karena sudah terbiasa, memang
faktor kebiasa memiliki pengaruh yang besar dalam menberikan rasa terhadap apa
yang dialami.
Kutipan
yang juga sering aku dengar adalah “ala bisa, karena biasa” mungkin aku
bisa menjadi seperti ini, juga karena sudah terbiasa melewati beberapa tahun Bulan
Ramadan dan lebaran Idul Fitri di perantauan, sehingga rasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar