Sabtu, 22 Mei 2021

Hilang Rasa Karena Terbiasa

Lebaran di Rantau Sudah tidak ada Rasa, Sudah Menjadi Biasa aja

Kurang lebih ungkapan sepeti itu dikatakan oleh salah satu rekan saat sedang bersama-sama silaturahmi lebaran tahun ini (2021 –1442 H). Tentu bukan tanpa alasan, ini karena memang sudah beberapa tahun kami berlebaran di tanah rantau.

Sedikit bercerita, sejak tahun 2016 saat aku mulai merantau ke Yogyakata, sampai tahun ini 2021 aku menghabiskan 4x (empat kali) bulan Ramadan dan lebaran Idul Fitri di Yogayakarta, yaitu pada tahun 2016, 2017, 2020 dan 2021. Jadi selama 6 (enam) tahun terakhir hanya 2x (dua kali) aku ramadhan dan Idul Fitri di Aceh.

Walaupun bigitu, aku sebenarnya masih rutin pulang ke Aceh setahun sekali, hanya saja kadang jadwal pulang ku tidak pada bulan Ramadan dan Idul Fitri. Seperti pada tahun 2020 kemarin, akibat pandemi aku gagal mudik pada saat bulan Ramadan dan Idul Fitri, sehingga aku baru mudik pada akhir tahun lalu.

Sedangkan pada tahun 2017, aku mudik pada saat lebaran Idul Adha, karena pada saat itu, ujian akhir semester (UAS) baru dilaksanakan setelah lebaran Idul Fitri sehingga, aku memilih untung pulang pada saat liburan panjang setelah UAS.

Seketika aku mencoba merenung sesaat, ungkapan tersebut ternyata amat sangat sesuai dan masuk akal, karena semakin kesini aku semakin tidak ada rasa ketika melewati bulan Ramadan dan Idul Fitri di perantauan, sangat berbeda ketika pertama kali melewati bulan Ramadan serta Idul Fitri jauh dari keluarga dan kampung halaman, sedih tentu, namun tidak sampai menangis, ungkapan hati sempat aku ceritakan pada blog ini dengan dengan judul Cerita Puasa Ramadan si Anak Rantau dan CeritaLebaran si Anak Rantau

Sejujurnya aku belum berani mengklaim diri sebagai orang yang peka dan memiliki rasa yang kuat, namun jika berbicara masalah rasa rindu saat berjauhan dengan keluarga, aku jadi ingat dua momen saat masih kecil yang sebenarnya sedikit memalukan.

sumber : pixabay.com

Pertama adalah ketika aku masih berumur (kalo tidak salah) 10 tahun. Ketika libur sekolah, aku ikut ke luar kota bersama sepupuku dan ayahnya. Hal yang memalukan adalah saat aku berani mengetok pintu kamar ayah sepupu ku pada malam hari untuk meminjam handphone dengan tujuan untuk menelpon orang tua ku. Alasannnya adalah karena aku kangen sama orang tua ku dan membuat malam itu aku tidak bisa tidur sama sekali.

Kedua adalah ketika aku baru duduk di bangku SMP, atau saat umurku sekitar 12 tahun. Karena sekolah SMP ku adalah pesantren, jadi wajib asrama, yang memalukan adalah, padahal jarak rumah dan sekolah SMP ku bisa dibilang cukup dekat, namun tetap saja, aku pernah menangis dan sedih karena kangen sama orang tua dan keluarga ku.

Namun hal-hal tersebut saat ini benar-benar hilang, mungkin faktor usia juga yang membuat aku tidak sepeti dulu, yang sedih ketika berjauhan dengan keluarga. Selain faktor usia yang paling mungkin juga adalah karena sudah terbiasa, memang faktor kebiasa memiliki pengaruh yang besar dalam menberikan rasa terhadap apa yang dialami.

Kutipan yang juga sering aku dengar adalah “ala bisa, karena biasa” mungkin aku bisa menjadi seperti ini, juga karena sudah terbiasa melewati beberapa tahun Bulan Ramadan dan lebaran Idul Fitri di perantauan, sehingga rasa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar