Selasa, 12 Juli 2022

“Ribet” Budaya yang Harus Dilestarikan

Rasanya sudah begitu lama tidak menulis artikel di blog pribadi ini, sebenarnya banyak hal yang ingin dituliskan baik itu opini pribadi maupun cerita, namun ada labih banyak hal yang melatarbelakangi kenapa rasa untuk kembali mulai merangkai kata demi kata, sampai pada akhirnya dipublikasikan tulisan tersebut disini blog ini begitu berat. Akhirnya setelah kosong selama setengah tahu, artikel ini akan menjadi tulisan pertama yang dipublikasikan di Blog ini di tahun 2022.

Dari judul artikel mungkin sudah banyak dari pada pembaca yang mengerti bahwa ini adalah bentuk sindiran, ditujukan untuk siapa tentu tidak ada yang tau dan mengerti sebelum membaca sampai selesai, namun konteks yang diangkat sedikit banyak mungkin pernah dirasakan oleh kebanyakan orang, termasuk aku sendiri.


 Ilustrasi Ribet - Sumber : pixabay

Latar belakang judul tersebut adalah dari rasa jengkelku terhadap pelayanan publik di Indonesia. ketika aku kembali ke Jogja pada akhir bulan Mei 2022 (1 bulan dari artikel ini ditulis) yang lalu. Rute penerbanganku ketika itu adalah Aceh - Kuala Lumpur – Yogyakatarta (KLIA2 – NYIA).

Alasan aku memilih balik ke Jogja melalui Kuala Lumpur adalah karena waktu itu bertepatan dengan bulan-bulan pertama rute penerbangan ke Kuala Lumpur kembali dibuka, setelah jeda Pandemi Covid selama 2 tahunan. Dari segi harga tiket tidak jauh berbeda dengan Aceh – Medan – Jogja, sehingga aku memutuskan untuk sekalian jalan-jalan ke Kuala Lumpur.

Kondisi pandemi di Indonesia dan Malaysia ketika itu sudah cukup membaik, sehingga secara regulasi keluar masuk dari dan ke Malaysia ataupun sebaliknya ke Indonesia sedah terbuka tanpa adanya syarat dan pra-syarat ini itu seperti PCR dan asuransi Covid. Syarat perjalanan yang berlaku ketika itu yaitu wajib vaksin lengkap dan memiliki aplikasi MySejahtera jika ingin masuk Malaysia dan aplikasi PeduliLindungi jika ingin masuk ke Indonesia.

Rasa kesel yang pertama kali aku rasakan terhadap pelayanan publik pada konteks diatas adalah ketika aku akan memperpanjang paspor.Tentu untuk setiap pelayanan publik ada tantangannnya, saat akan memperpanjang paspor tantangan yang pertama yang aku rasakan adalah ribetnya memvalidasi informasi prosedur, syarat dan ketentuan layanan perpanjangan paspor.

Informasi yang tersebar di Internet adalah pemohonan perpanjangan paspor dilakukan secara online melalui aplikasi, namun tidak ada informasi khusus yang mengatakan bawa perpanjangan paspor hanya bisa dilakukan secara online atau online sifatnya hanya opsi, informasi-informasi yang beredar hanyalah tata cara perpanjangan paspor secara online di aplikasi M-Paspor yang dipubikasikan di media-media online*.

NB : Setelah aku melakukan riset ulang pada saat sebelum artikel ini dipublikasi, ternyata informasi detail terkait prosedur, syarat dan ketentuan tedapat pada halaman : https://www.imigrasi.go.id/id/permohonan-penggantian-paspor-apabila-paspor-masih-ada-dewasa/namun halaman tersebut terdapat di menu yang tidak mudah ditemukan, akses halaman tersebut pada menu : Informasi  Keimigrasian - > Informasi Pelayanan Keimigrasian -> Pelayanan Warga Negara Indonesia -> Permohonan pengantian paspor -> Paspor masih ada. Sangat jauh bukan menu untuk mencapai halaman tersebut.

Berbekal informasi di media online, aku membawa beberapa syarat yang diminta ke kantor Imigrasi Aceh, sesampai di kantor imigrasi benar saja, ternyata untuk memperpanjang paspor pendaftaran harus dilakukan secara online melalui aplikasi M-Paspor. Wih keren ya, digitalisasi… bener keren, tapi jangan salah ya, aplikasinya lola (loading lama)

Bukan hanya masalah loading saja, keribetan lainnya yang aku rasakan dan menurutku ini sangat bisa diatasi dengan bantuan tekonologi adalah, bagi yang ingin memperpanjang masa berlaku paspor juga tetap harus mengisi ulang data diri, ditambah membawa dokumen fisik, belum lagi ketika mengambil paspor yang telah selesai harus menunggu lama, yang kesimpulannya silahkan disimpulkan masing-masing.

Kembali lagi ke perjalanan, keribetan lain yang aku rasakan dan mungkin juga sering dialami di bandara-bandara adalah, antirian ketika chek in. Secara normal jika kondisi tidak pandemi memang beberapa maskapai memberikan layanan chek in secara mandiri di bandara, dan ini cukup membantu, namun tetap tidak ada gunanya jika mebawa barang bawaan dibagasi, karena tetap harus mengantri dan kadang itu antriannya lama untuk beberapa kasus.

Singkat cerita setelah beberapa hari di Kuala Lumpur dan akhirnya kembali ke Indonesia, tepatnya ke Jogja, lagi-lagi aku merasakan hal yang ribet, akibatnya memakan 2 jam hanya untuk administrasi di bandara saja.

Pertama adalah pemeriksaan sertifikat vaksin dan pencatatan penumpang maskapai yang tiba dari luar negeri. Hal ini terlihat baik, dan sangat bisa dikatakan sebagai bentuk antisipasi pencegahana pandemi covid, namun sayangnya prosedur pemeriksaan tidak efektif, sehingga memakan waktu cukup lama. Usut punya usut ternyata petugas selain mengecek sertifikat pada aplikasi PeduliLindungi juga melakukan pencatatan data diri penumpanng yang baru tiba dari luar negeri di Excel. Bagaimana tidak lama prosesnya jika satu-satu setelah dicek pentatan dilakukan maual.

Cerita diatas hanyalah beberapa part yang aku rasakan bagaimana “ribet” adalah budaya yang keliatanya sangat amat dielestarikan. Rasanya bagi beberapa kalangan ceritaku cukup sepele jika dipermasalahkan, tentu tidak adan salahnya, namun nyatanya mau tidak mau harus diakui memang banyak hal disekitar kita secara prosedur lebih ribet dibandingkan apa yang beberapa atau bahkan banyak orang bayangkan.

Sekian, Terima Kasih ~ 

Artikel ini ditulis pada malam hari di tanggal 08 Juli 2022 dan diselesaikan pada malam hari 12 Juli 2022. Berlokasi di salah satu sudut Kos Kemang Utara 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar