Sabtu, 26 Desember 2020

16 Tahun Tsunami dan Aceh di Situasi Pandemi

Tahun 2020 identik dengan tahun pandemi, sudah sejak awal tahun 2020 hingga hari ini (akhir tahun 2020) Indonesia masih dibayang-bayangi oleh pandemi COVID-19, walau di tengah situasi pandemi tidak ada alasan untuk melupakan tsunami yang terjadi di Aceh 16 tahun silam. Minggu, 26 Desember 2004 semua berjalan normal sebelum gempa bumi yang terjadi di samudra hindia (termasuk Aceh) yang kemudian diikuti tsunami yang meluluhlantakkan sebagian besar pesisir pantai Aceh hingga pusat kota.

Ketika itu umurku masih 7 (tujuh) tahun, tentu aku tidak memiliki banyak pengalaman yang bisa aku ceritakan tentang hari itu, hanya saja aku masih memiliki sedikit memori tentang situasi kala itu. Gempa pada hari itu adalah gempa pertama yang aku rasakan, aku masih ingat bagaimana detik-detik sebelum terjadinya gempa sampai goncangan gempa semakin kuat dan keluargaku berlarian ke luar rumah.

Walaupun gempa cukup terasa, Alhamdulillah gelombang tsunami tidak sampai ke rumahku. Ini juga menjadi salah satu pertanyaan yang paling sering ditanyakan ketika aku berkenalan dengan orang baru, selalu pertanyaan yang muncul ketika aku menyebutkan bahwa aku dari Aceh adalah ketika tsunami bagaimana ?”, “kena tsunami tidak?”, atau “Saat itu umur berapa ?

sumber gambar ap.org (Associated Press)

Saat terjadinya gempa dan tsunami Aceh 16 tahun silam, aku masih seorang siswa sekolah dasar kelas 2, sama seperti anak-anak pada umumnya, hari minggu dan juga hari-hari libur lainnya adalah hari yang paling membahagiakan, aktivitas setiap akhir pekan adalah nonton film kartun doraemon sambil sarapan pagi dan kegiatan itulah yang sedang aku lakukan ketika itu.

Setelah terjadinya peristiwa tsunami, secara seketika banyak hal yang berubah. Sebagai seorang siswa ketika itu, yang paling aku rasakan adalah liburnya sekolah selama beberapa bulan, bukan hanya sekolah aktivitas perkantoran, pasar tempat wisata, hiburan dan sebagainya pun ikut libur untuk beberapa saat akibat bencana dahsyat gempa dan tsunami.  

Sama halnya di tahun 2020 ini banyak hal yang berubah akibat pandemi COVID-19.  Sudah sejak awal pandemi berbagai sekolah menerapkan proses Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), kantor-kantor menerapkan proses Kerja dari Rumah (KdR) ataupun shifting, berbagai tempat menerapkan protokol kesehatan dengan menyediakan tempat cuci tangan wajib masker dan sebagainya sebagai bentuk kenormalan baru untuk mitigasi pandemi COVID-19.

Pada pertengahan Desember 2020 aku pulang ke Aceh setelah sekitar 1,5 tahun tidak pulang (termasuk lebaran idul fitri dan idul adha). Alasan aku tidak pulang pada lebaran tahun ini adalah karena pelarangan mudik yang mengakibatkan penutupan bandara, dan setelah bandara mulai beroperasi aku tidak langsung pulang karena telah memiliki target untuk bisa sidang tugas akhir di tahun ini dan berencana pulang ke Aceh setelah sidang tugas akhir.

Banyak perbedaan yang aku rasakan antara di Aceh dan di Jogja selama masa pandemi. Inti dari banyak perbedaan tersebut adalah aku merasakan situasi yang sangat santai selama di Aceh, rasa-rasanya pandemi tidak memiliki wibawa sebesar yang dimiliki oleh pandemi yang ada di Jogja. Aku akan menjadi orang aneh jika tidak menggunakan masker di Jogja, sedangkan disini adalah kebalikannya, kurang lebih begitu. Namun untuk mitigasi yang telah dilakukan oleh pemerintah setempat tidak jauh berbeda.

Semoga dunia khususnya Indonesia bisa segera membaik seperti sebelum pandemi, semua bisa berjalan kembali normal seperti saat-saat Aceh pasca tsunami. Doa terbaik untuk Dunia, Indonesia dan Aceh.

---------

Beberapa hari sebelum diterbitkan, aku sudah berencana untuk membuat artikel ini namun artikel ini baru mulai aku H-1 dan aku selesaikan pada hari H peringatan 16 Tahun Tsunami Aceh yang judulnya sendiri juga baru aku dapatkan saat akan memulai menulis artikel ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar