Selasa, 11 Februari 2020

Menanti Indonesia 100% Tanpa Tunai

Pada Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) ke-74 atau yang bertepatan dengan Sabtu, 17 Agustus 2019 Bank Indonesia (BI) selaku regulator dalam sistem pembayaran di Indonesia Meluncurkan Standar QR Code Indonesia (QRIS). Dalam sambutanya seperti yang dikuti di detik.com, Perry Warjiyo yang menjabat sebagai Deputi Gubernur Bank Indonesia mengatakan.

sumber : shutterstock.com

QRIS ini juga unggul, 'un' universal. Semua lapisan masyarakat bisa menggunakan ini, penjual bakso, mie goreng. Tapi selain itu juga universal bisa dipraktikkan secara internasional. QRIS ini dalam revolusi keuangan sangat gampang. What you need only handphone. Melalui uang elektronik kredit debit dimana pun tinggal tempel saja, sepanjang ada uangnya, transaksi langsung bisa jalan."

Jauh hari sebelum peluncuran QRIS tepatnya pada tahun 2014 yang lalu, BI telah lebih dahulu meluncurkan Gerakan Nasional Non-Tunai  (GNNT). Program GNNT tersebut dilakukan guna meningkatkan kesadaran masyarakat juga pelaku bisnis, dan instansi-instansi pemerintah untuk menggunakan sarana pembayaran non-tunai dalam setiap transaksi keuangan yang memberikan kemudah, keaman, dan efisiensi.

Program QRIS memang merupakan penunjang dari program BI sebelumnya yaitu GNNT. Ketika awal diluncurkannya GNNT BI hanya berfokus pada transaksi non-tunai menggunkan kartu berteknologi RFID (Radio Frequency Identification) yang masih eksis sampai saat ini. Kartu tersebut umumnya diterbitkan oleh Bank-bank besar yang sudah memiliki banyak nasabah dan core bisnis yang kuat, Seperti Bank Mandiri menerbitkan kartu E-money dan E-toll, kemudian BCA menerbitkan kartu flash, BNI menerbitkan katu tapcash, BRI menerbitkan kartu brizzi, dan ada beberapa bank besar lainnya.

Transaksi non-tunai yang gencar disosialisasikan sejak tahun 2014, awalnya hanya berfokus pada pembayaran transportasi umum milik pemerintah, pembayaran pintu tol, dan beberapa merchant yang notabene sudah besar.

Transportasi umum dan pintu tol secara bertahap keseluruhannya dialihkan ke pembayaran digital menggunakan kartu berteknologi RFID tersebut, sehingga seperti Transjakarta (dan busway di beberapa kota besar lainnya) kemudian juga KRL Commuter Line tidak lagi menerima pembelian tiket secara tunai. Begitu juga dengan pembayaran pintu toll, secara bertahap semua dialihlkan menggunakan kartu sehingga tidak lagi menerima transaksi menggunakan uang tunai.

RFID (Radio Frequency Identification) merupakan chip yang ditanamkan pada kartu sehingga bisa berkomunkasi dengan mesin-mesin yang ada sehingga bisa melakukan pembayaran otomatis hanya dengan tap kartu pada mesin tersebut. Terknologi ini sangat memudahkan, sampai hari ini juga masih eksis dingunakan, implementasinya bahkan sudah diterapkan pada moda transportasi umum terbaru di Jakarta seperti MRT (Moda Raya Terpadu) dan LRT (Lintas Rel Terpadu).


Peralihan ke Uang Elektronik Berbasis Server
Kemajuan teknologi membut transaksi digital makin hype. Pada awal tahun 2016 mulai bermunculan uang elektronik berbasi server yang menggunakan teknologi yang berbeda-beda. Seperti TCASH (Sekarang menjadi LinkAja) awalnya menggunakan teknologi stiker NFC, kemudian ada GoPay & OVO menggunakan teknologi QR Code yang memudahkan pengguna bertransaksi hanya dengan scan QR Code.

Pada akhirnya pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan dan aturan-aturan terkait transaksi digital termasuk dalam hal QR Code.

QRIS atau QR Code Indonesia standar adalah standarisasi dari QR Code untuk pembayaran non tunai menggunakan uang elektronik berbasis server. Jadi nantinya, merchant cukup memiliki satu QR Code yang bisa menerima pembayaran mengguanakan uang digital dari berbagai aplikasi seperti GoPay, OVO, LinkAja, Dana dan lainnya.

Tentu penerapan QRIS akan sangat memudahakan kedua pihak, baik pihak pemilik merchant ataupun pengguna uang elektronik. Penerapan QRIS, akan mengubah gaya saat ini, dimana merchant memiliki banyak QR Code, sesuai dengan layanan uang elektronik yang diterima.

QRIS juga diklaim sebagai salah satu pelaksanaan Visi Sistem Pembayaran Indonesia (SPI) 2025, sehingga diharapkan pada 1 Januari 2020 semua penyedia jasa pembayaran nontunai (PJSP) di Indonesia sudah mengadopsi QRIS.


Tak Semua Tersentuh Uang Elektronik
Namun dibalik kegemerlapan dan eksistensi transaksi non-tunai, masih ada masyarakat yang sangat awam dengan hal-hal ini, bahkan di ibu kota sendiri. Seperti yang diungkapkan pada salah satu segmen berita di CNN Indonesia beberapa waktu yang lalu yang berjudul “'Fintech' Tak Sentuh Sudut Jakarta” yang kemudian diunggah ke channel Youtube CNN Indonesia pada 10 November 2019.



Pada tayangan tersebut sang presenter CNN Indonesia menyebutkan bahwa “tak semua warga yang tinggal di Jakarta ini tersentuh dengan kemajuan teknologi financial, beberapa warga masih mempertahankan memegang uang tunai” setelah kalimat pembukaan tersebut, tayangan dialihkan ke gambaran kehidupan seorang tukang sayur di Jakarta dengan popup judul yang muncul “Potret tunai disudut jakarta”


Tayangan tersebut menjelaskan dengan detail bahwa disudut ibu kota “Jakarta” masih ada orang-orang yang belum tersentuh pengaruh teknologi financial, jangankan teknologi financial, mereka bahkan belum menggunakan rekening bank. Subjek yang diangkat adalah ibu Supeni, seorang tukang sayur yang tidak sama sekali menggunakan layanan perbankan, apalagi teknologi financial.

Kemudian pada tayangan berita tersebut juga menambahkan bahwa Ibu Supeni merupakan salah satu cerita dari jutaan jiwa masyarakat yang tinggal di Jakarta yang masih bergantung pada uang tunai. Masih dari sumber tayangan berita yang sama, data menunjukan bahwa baru sekitar 42 Juta masyarakat Indonesia yang merasakan layanan financial teknologi secara penuh.

Nyatanya, masih ada kurang lebih 92 Juta jiwa masyakat Indonesia yang seperti ibu Supeni, yang belum memiliki rekening apalagi menggunakan layanan teknologi financial. Selain itu ada 47 Juta jiwa masyarakat Indonesia yang sudah memiliki rekening Bank, namun belum pernah menggunakan layanan teknologi financial.

Sebenarnya, saya pribadi sedikit ragu Indonesia bisa 100% tanpa tunai, alasannya bukan karena teknologi, infrastruktur, dukungan pemerintah yang kurang memadai, tapi karena memang tidak mungkin 100% masyarakat mau beralih, masyarakat kita sudah terlalu nyaman dengan uang cash. Budaya turun-temurun transaksi dengan uang cash juga dirasa belum kuno, tidak beresiko, dan masih relevan dengan hari ini.

Walaupun memang kenyataannya, ada peningkatan tren yang cukup singnifikan penggunaan layanan teknologi financial setiap tahunnya. Setiap tahun jumlah transaksi uang digital selalu meningkat tajam, tentu ini sedikit banyak menggambarkan jumlah pengguna yang terus ikut bertambah.

Jika melihat data transaksi uang digital yang tercatat oleh Bank Indonesia (BI) Sepanjang semester pertama 2019 transaksi uang digital di Indonesia mencapai Rp.56 triliun lebih, sedangkan pada tahun 2018 total transaksi uang digital di Indonesia hanya Rp.47 triliun dan setahun sebelumnya yaitu 2017 malah transaksi hanya berjumlah Rp.12 triliun.

Dikalangan mahasiswa (teman-teman saya) sendiri nyatanya uang elektronik belum menjadi pilihan utama bagi mereka, dari hasil diskusi dan perbincangan singkat dengan teman-teman mahasiswa tersebut ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan mengapa mereka tidak beralih ke uang elektronik, salah satunya seperti dengan uang cash mereka bisa lebih fleksiable dan leluasa, karena semua tempa tentu menerima transaksi menggunkan uang cash, begitu sebaliknya, tidak semua tempat menerima transaksi menggunakan uang elektronik. 

Kini mari kita nantikan apakah akan mungkin Indonesia 100% tanpa tunai, dimana seluruh transaksi didominasi menggunakan uang elektronik dibandingkan menggunakan uang cash, dimana jumlah transaksi uang elektronik lebih besar dibandingkan uang cash, dimana machant yang menerima transaksi menggunakan uang elektronik lebih banyak dibandingkan uang cash, mari kita nantikan bersama.

Kalo harapan saya pribadi setidaknya, walaupun Indonesia tidak bisa 100% tanpa tunai, transaksi non-tunai Indonesia bisa mendekati atau menyerupai china, yang kabarnya pengemis dan pengamen saja sudah menerima transaksi menggunakan alipay / WeChat pay, disini kita bisa menarik kesimpulan bahwa sudah ada begitu banyak mechant yang menerima transaksi menggunakan uang elektronik walaupun sebenarnya tetap saja, uang tunai di cina masih beredar, dan transaksi menggunakan uang tunai masih ada.


Pertimbangan tidak berpindah ke non-tunai
Dalam penelitian berjudul Less Cash Sociey: Menakar Mode Konsumerisme Baru Kelas Menengah Indonesia (PDF) yang ditulis oleh Wasis Raharjo Jati (peneliti LIPI) pada 2015, mengatakan bahwa teknologi berperan besar mendorong kelas menengah Indonesia agar lebih konsumtif melalui kehadiran alat pembayaran elektronik non-tunai. Dalam tulisan tersebut juga menyinggung bahwa penggunaan uang elektronik membuat orang membeli barang tanpa direncanakan. Untuk memenuhi kebiasaan tersebut, saldo dalam jumlah besar pun menjadi suatu keharusan. Sehingga membentuk karakter belanja impulsif (impulsive buying) bagi kelas menengah.

Pada akhirnya tetap saja akan selalu ada sisi positif dan negatif disetiap hal, memang baiknya Indonesia tetap menjadi negara yang bisa bijak menanggapi perkembangan uang elektronik, walaupun tidak bisa mencapai 100% tanpa tunai, setidaknya Indonesia bisa membuat pengelolaan yang paling baik untuk pengguna uang elektronik, vendor uang elektronik ataupun machant yang menerima pembayaran menggunakan uang elektronik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar