Kamis, 26 Desember 2019

15 Tahun Tsunami Aceh, Kenangan dan Masa Depan

Sejak tahun 2016 silam, saat saya mulai pindah ke kota Jogja, setiap bertemu orang baru, setelah berkenalan dan mengatakan bahwa saya berasal dari Aceh, respon pertama mereka pada umumnya adalah “ketika tsunami bagaimana ?”, “kena tsunami tidak?”, atau “Saat itu umur berapa ?” dan pertanyaan-pertanyaan lain yang berkaitan dengan tsunami tahun 2004 silam.
sumber : abc.net

Tentu jawaban saya kurang lebih selalu sama, “Alhamdulillah saya tidak kena tsunami, karena rumah saya jauh dari pantai, tapi gempa saat itu sangat terasa dan menjadi gempa pertama yang saya rasakan”. Selain itu saya kadang juga menlanjutkan cerita bahwa saya ketika itu masih duduk di kelas 2 Sekolag Dasar (SD), gempa terjadi kurang lebih jam 8 pagi dan saat itu saya sedang menonton kartun doraemon.
Tentu banyak memori lainnya yang masih membekas, seperti ada beberapa saudara saya yang rumahnya terkena gelombang tsunami yang Alhamdulillah mereka masih selamat, mengungsi untuk beberapa waktu di rumah saya.  
Sekolahan ketika itu juga libur sekitar 1 bulanan, setelah sekolahan kembali mulai aktif, setiap siswa mendapatkan biskuit setiap jam istirahat, ini berjalan kurang lebih dua tahunan. Biskuit tersebut merupakan bantuan dari UNICEF (United Nations Children's Fund) yang sepertinya dibagikan kepada seluruh sekolah-sekolah dasar yang ada di Aceh. 
Ada cerita menarik terkait biskuit bantuan tsunami tersebut, dimana saking bosannya para siswa dengan biskuit tersebut karena mendapatkan tiap hari, para siswa mulai malas makan biskuit yang diberikan tersebut, namun tidak serta merta langsung dibuang atau tidak diambil ketika dibagikan, namun ada yang menyimpan dan membawa pulang biskuit tersebut ada juga yang mengoleksi  biskuit tersebut di laci meja masing-masing.
Kebetulan juga sekolah SD Saya dekat dengan pondok pasantren, terkadang biskuit yang sudah disimpan oleh para siswa dan sudah banyak jumlahnya diberikan kepada para kakak-kakak santri yang ada di pasantren tersebut. Tentu para santri sangat senang jika diberikan biskuit tersebut, karena bisa menjadi cemilan buat mereka.  
Bantuan yang datang ke Aceh setelah tsunami tersebut begitu banyak, bantuan tersebut datang dari berbagai negara baik negara-negara Asia, sampai negara-negara di Eropa, Amerika, Afrika semua memiliki empati yang tinggi untuk bencana tsunami yang melanda Aceh tersebut
Total kurang lebih ada 56 negara turut memberi bantuan untuk Aceh setelah bencana Tsunami. Menurut Presiden ke-6 Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jumlah bantuan negara-negara sahabat untuk tsunami Aceh mencapai mencapai sekitar 7 miliar dolar AS, yang merupakan angka paling besar bantuan yang diterima oleh sebuah negara di abad ke-21. 
Bahkan Israel yang dikenal sebagai negara dengan mayoritas penduduknya beragama yahudi ikut memberikan bantuan kepada Aceh berupa obat-obatan, pakaian, air minum, dan alat pemurnian air sebesar 90 ton. Padahal Aceh adalah provinsi dengan masyarakat yang hampir 100% muslim, bagian dari negara Indonesia dimana Indonesia sendiri adalah negara dengan penduduk muslim tersbesar di dunia. Begitulah indahnya kemanusian, tidak harus sama untuk bisa saling membantu. 
Bantuan dari bebagai negara dan organisasi kemanusian tersebut tersebut sangat cepat didistribusikan, dan amat sangat dirasakan manfaatnya oleh korban tsunami yang masih selamat ataupun para masyarakat Aceh pada umumnya. Termasuk keluarga Saya yang kebetulan menampung beberapa pengungsi korban tsunami yang masih selama, ikut mendapatkan bantuan-bantuan seperti makanan dan obat-obatan. 
Tsunami tahun 2004 tersebut sebenarnya tidak hanya terjadi di Aceh, namun juga pulau nias, Sumatra Utara dan negara-negara tetangga seperti Khaolak-Thailand, Sri Lanka, India, Myanmar, dan timur Afrika, namun tsunami dan gempa yang terjadi di Aceh merupakan yang tersebesar dibandingkan daerah-daerah lainnya. Bencana Tsunami 2004 tersebut kemudian oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) disebut sebagai salah satu bencana terbesar di abad ke-21.  

Awal Masa Depan Aceh Setelah Tsunami
Setelah terjadi bencana gempa dan Tsunami pada Minggu, 26 Desember 2004. Aceh begitu sangat hancur dan porak poranda. Ratusan ribu rumah masyarakat hancur, infratruktur bangunan, jalan dan jembatan juga tidak kalah hancur. Belum lagi ada ratusan ribu masyarakat yang menjadi korban, UNOCHA (United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs) memperkitakan korban tsunami Aceh mencapai 130.736 jiwa dan kerugian mencapai Rp 41,4 triliun.
Sri Mulyani yang ketika itu merupakan kepala Bappenas dan kini menjadi menteri keuangan Republik Indonesia pernah bercerita pada seminar Nasional Tantangan Pengelolaan APBN dari Masa ke Masa di Kementerian Keuangan, bahwa 30% staf Pemerintah daerah Aceh ketika itu meninggal dunia, sehingga pemerintah pusat menurunkan staf pemerintrahan pusat ke Aceh, kemudian juga dibuntuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi untuk (BRR) Aceh-Nias.
BRR Aceh-Nias didirikan pada 16 April 2005, berdasarkan aturan yang tertulis dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 2/2005 yang dikeluarkan oleh Presiden. Kemudian struktur organisasi dan mekanisme BRR diperkuat dan dijelaskan di peraturan Presiden (Perpres) No. 34/2005 tentang Susunan organisasi dan tata kerja serta hak keuangan badan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah dan kehidupan masyarakat provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan kepulauan Nias Provinsi Sumatera utara yang ditandatangani langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 29 April 2005. 
Dari awal pembentukannya BRR Aceh-Nias sudah direncanakan untuk hanya beroperasi selama empat tahun. BRR memiliki kantor pusat di Banda Aceh, kemudian kantor cabang di kepulauan Nias, Sumatra Utara dan kantor perwakilan di DKI Jakarta. 
Struktur kepimpinan BRR seperti yang disebutkan di Perpres no.34 tahun 2005 terdiri dari Badan Pelaksana, Dewan Pengarah, Dewan Pengawas.  Disebutkan juga bahwa Kepala Badan Pelaksana diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dan kedudukannya setingkat menteri. 
Kuntoro Mangkusubroto yang merupakan seorang mantan Direktur Utama PLN ditunjuk menjadi kepala badan pelaksana BRR, Sedangkan yang ditunjuk menjadi ketua Dewan Pengarah yaitu Widodo AS yang merupakan Menko Polhukam ketika itu, dengan dibantu oleh 17 orang lainnya. Sedangkan Dewan Pengawas diketuai Prof. Dr. Abdullah Ali dengan anggota yang berjumlah sembilan orang.
Masih pada seminar yang sama Sri Mulyani mengungkapkan bahwa, ketika itu negara-negara di dunia sangat antusias ingin membantu Indonesia bahkan dengan target mencapai US$ 13-15 miliar. Namun mereka tidak ingin bantuannya dikorupsi oleh pihak-pihak tertentu, sehingga tidak ingin bantuan tersebut masuk ke dalam struktur Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). 
Pada akhirnya BRR-lah yang mendapatkan tugas untuk memonitor bantuan dari negara-negara di dunia. Jika di rupiahkan dana yang dikelola BRR mencapai Rp 60-70 triliun, kemudian diitambah dengan dana masyarakat internasional, jumlah dana yang dikelola BRR mencapai sekitar Rp 120 triliun. 
Pada tanggal 17 April 2009, BRR Aceh-Nias resmi dibubarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam pidato pembubaran tersebut SBY menceritakan bahwa sekitar sepuluh hari setelah tsunami Aceh, pemerintah menyelenggarakan summit di Jakarta, pada pertemuan puncak Sekjen PBB ikut hadir, banyak para kepala negara, kepala pemerintahan hadir, lembaga internasional, international bank, dan sebagainya. Sampai pada penutup pidato SBY mengatakan “... dengan pesan, harapan, ajakan dan pelajaran-pelajaran besar itu maka dengan terlebih dahulu mengucapkan rasa syukur alhamdulillah, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Nias, dengan resmi saya bubarkan.” 

Masa Depan Aceh dari Kaca Mata Hari ini
Jauh berbeda dengan Aceh 15 tahun silam, Aceh hari ini sudah sangat normal. Infratruktur jalan, jembatan, banguna-bangunan dan rumah-rumah yang tadinya hacur lebur, porak-poranda akibat gelombang tsunami dan gempa yang terjadi pada 26 Desember 2004, kini telah kembali berdiri kokoh.
Aceh hari ini sudah semakin baik, bahkan jauh lebih baik dibandingkan beberapa dekade silam, Aceh yang dulu diklaim sebagai provinsi yang tidak aman karena menjadi daerah operasi militer karena konflik berkepanjangan antara GAM-Pemerintah RI, kini sudah damai, aman dan tentram. Tsunami memberikan hikmah, Aceh- Pemerintah RI membuat nota kesepahaman di ibu kota firlandia, yaitu kota helsinki pada 15 Agustus 2015 yang menyatakan bahwa GAM-Pemerintah RI berdamai, dan GAM resmi bubar.
Hari ini bisa dilhat bahwa Aceh telah menjadi provinsi yang ramah akan wisatawa, baik wisatawan domestik maupun wisatawan internasional. Ada begitu banyak pilihan tempat wisata yang bisa dijajaki di Aceh, semuanya lengkap mulai dari wisata alam, religi, histori hingga wisata tsunami.
Salah satu disnitasi pilihan wisatwan saat ke Aceh adalah tempat-tempat wisata yang ada kaitannya dengan tsunami 2004 silam, seperti meseum tsunami, Kapal PLTD Apung I, kapal di atas rumah dan Monumen Aceh Thanks to the World di Lapangan Blang Padang.
Tentu Aceh terus berbenah, memperbaiki diri dari kejadian-kejadi masa lalu yang kelam, Konflik dan bencana tsunami cukup memberikan pelajaran besar untuk menjadikan Aceh sebagai provinsi yang kembali berdaulat layaknya cerita masa lalu Aceh saat masih dipimpin oleh para sultan.
Hari ini Aceh sudah semakin baik, dan harapannya akan terus lebih baik, semakin banyak prestasi-prestasi baik di kancah nasional maupun Internasional, dan semakin sedikit kesalahan-kesalah yang dilakukan Aceh, baik kesalah yang dilakukan masyarakat ataupun yang dilakukan oleh pihak pemerintah seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Smoga Allah meridhoi Aceh, Amin !!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar