Financial technology (fintech) atau teknologi keuangan adalah salah satu bagian dari
perkembangan teknologi yang amat sangat pesat dewasa ini, fintech telah
memberikan berbagai macam kemudahan dan alternatif pilihan bagi pengguna dalam
hal akses ke layanan keuangan secara digital.
Sejarah perkembangan fintech tidak
terlepas dari kemunculan komputer dan jaringan internet pada tahun 1960–1970.
Menurut beberapa sumber perusahaan yang pertama kali mengembangkan fintech adalah
perusahaan keuangan asal California yang didirikan pada tahun 1982 yang bernama
E-Trade, perusahaan tersebut menerapkan layanan perbankan secara elektronik
kepada para investor.
Di Indonesia sendiri bisa
dikatakan perkembangan fintech dimulai sejak munculnya mesin
ATM (Anjungan Tunai Mandiri). Ada dua sumber berbeda terkait sejarah kemunculan
ATM di Indonesia, sumber pertama mengatakan bahwa Mesin ATM pertama kali
digunakan di Indonesia pada 1986 yaitu oleh Hong Kong Bank dan Bank Niaga,
sedangkan sumber lain menyebutkan bahwa Mesin ATM pertama kali digunakan oleh
Bank Dagang Bali setelah menjalin kerja sama dengan Chase Manhattan Bank, pada
1984/1985.
Perkembangan Pesat Fintech
Secara umum, perkembangan
pesat fintech di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan
pengguna ponsel pintar (smartphone). Menurut laporan Newzoo yang dimuat
di katadata.co.id di tahun 2020 pengguna smartphone di Indonesia
menempati posisi keempat terbesar di dunia dengan jumlah 170,4 juta
pengguna smartphone.
Jumlah pengguna smartphone di
Indonesia yang cukup besar menarik perhatian berbagai perusahaan untuk mencoba
keberuntungan di bidang fintech, sehingga berbagai startup di
bidang ini terus bermunculan dengan kucuran modal yang tidak kecil.
Investasi besar-besaran terus digelontorkan oleh berbagai pihak, baik itu investor nasional maupun global, baik dari swasta maupun pemerintah. Secara umum investasi yang diperoleh digunakan untuk pengembangan dan akuisisi pengguna dengan berbagai upaya, hal ini tentu juga mendukung perkembangan dan semakin mempercepat perkembangan fintech di Indonesia.
Tentu sebuah kebahagian bagi banyak pihak jika fintech di Indonesia semakin berkembang, namun sama halnya dengan banyak hal lain yang ada di dunia ini, tentua segala sesuatu ada plus dan minusnya, ada baik dan burunya, ada pro dan kontranya, bak dua sisi mata uang, perkembagan fintech bisa menjadi bumerang bagi pengguna yang salah dalam pemanfaatnya.
Salah satu bumerang yang berbahaya dari pesatnya perkembangan fintech di
Indonesia adalah prilaku konsumtif yang meningkat yang kadang sebenarnya
hal-hal yang dibelanjakan adalah hal-hal yang tidak atau belum penting, hal ini
semakin dipermudah dengan adanya layanan Pay Latter yang disediakan oleh
beberapa perusahan fintech.
Godaan Paylater
Bagi pengguna aktif berbagai layanan berbasis digital seperti
belanja online melalui e-commerce, membeli
tiket transportasi, akomodasi dan pengalaman melalui Online Travel Agents (OTA),
rutin menggunakan layanan ride hailing, transaksi
secara non-tunai (cashless) dan hal-hal lain yang
berkaitan, tentu sering mendapatkan penawaran atau sekedar melihat informasi
yang mengarakah untuk menggunakan layanan pay latter (baik itu
bayar nanti ataupun cicilan).
Tawaran yang diberikan beragam, namun umumnya berupa discount ataupun cashback dengan
nominal tertentu apabila bertransaksi menggunakan layanan pay
latter. Hal tersebut yang kemudian membuat bahkan orang yang
memiliki uang dan tabungan sekalipun bisa menggunakan pay
latter.
Tahapan berikutnya telah mencoba layanan pay
latter untuk pertama kalinya adalah apakah orang tersebut
merespon pengalaman menggunakan pay latter sebagai
pengalaman yang positif ataupun sebalinya, dan apabila respon positif besar
kemungkinan orang tersebut akan kembali menggunakan layanan pay
latter untuk transaksi berikutnya.
Berbahaya adalah ketika secara psikologi respon yang diberikan
adalah positif dan mulai menciptakan rasa nyaman sampai pada akhirnya adiksi
terhadap layanan pay latter, ditambah
apabila ada prilaku konsumtif dari orang tersebut, maka salah dampak buruk dari
perkembangan fintech akan mulai dirasakan.
Sudah seharusnya setiap dari kita mulai bijak dalam merespon perkembangan fintech, posisikan diri sebagai pengguna yang memiliki otoritas terhadap keputusan apupun yang kita lakukan saat menggunakan layanan fintech dalam hal ini khsusunya layanan pay latter.
Artikel ini juga telah diterbitkan di OPINI geotimes.id pada 20 Oktober 2022, dengan judul yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar