Kamis, 30 April 2020

Ambiguitas Larangan Mudik dan Kekecewaan Perantau

Surat edaran rektor tentang penyelenggaraan kuliah secara daring mulai 16 Maret 2020 sebagai bentuk mitigasi penyeberaban COVID-19 di kampus, beredar begitu masif di berbagai WhatsApp Group dan Sosial Media saya. Beberapa hari berikutnya banyak teman-teman yang langsung memutuskan untuk segera pulang ke kampung halaman masing-masing. Saya sendiri masih tetap bertahan di Jogja, walaupun orang tua sempat  menanyakan kapan saya pulang.

“Saya pulang nanti di awal Ramadhan” jawaban tersebut saya berikan kepada orang tua, dan kepada orang-orang yang sempat bertanya apakah saya akan pulang kampung dalam situasi pandemi COVID-19 ini. Ketika itu mudik belum dilarang, dan saya pribadi memiliki keyakinan bahwa tidak akan dilarang.

Tentu bukan hanya karena yakin bahwa mudik tidak akan dilarang yang membuat saya tidak segera pulang, alasan lain karena saya masih ingin merasakan beberapa hari menjalankan ibadah puasa ramadhan di Jogja. Saya sudah menduga bahwa tidak akan ada hal spesial ramadhan di tengah pandemi apalagi dalam perantauan, namun hal tersebutlah yang membuat saya ingin mencoba.

Alasan lain juga karena saat itu saya masih ikut menjadi relawan untuk memproduksi alat pelindung diri berupa pelindung wajah (face shield) yang didistribusikan ke berbagai rumah sakit seluruh Indonesia. Saya sangat menikmati kegiatan produksi tersebut karena saya merasakan bahwa dengan melakukan hal ini saya bisa sedikit bermanfaat di tengah pandemi.
sumber : miniphysics.com
Sesuai dengan jawaban yang saya berikan kepada orang-orang yang bertanya kapan saya pulang kampung, akhirnya pada 15 April 2020 saya melakukan pemesanan tiket pesawat Jogja-Aceh untuk penerbangan tanggal 29 April 2020 atau sama dengan ramadhan hari ke-5. Alasan saya memilih tanggal tersebut karena secara harga relatif murah dan durasi perjalanan juga relatif cepat, selain itu juga karena saya masih bisa merasakan beberapa hari ramadhan di jogja.

Harapan untuk pulang kampung sedikit demi sedikit mulai pudar ketika ada berita pelarangan mudik yang disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo. Pada awalnya saya masih mencoba tenang karena ada isu bahwa pelarangan mudik berlaku bagi masyarakat di daerah yang menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) serta daerah zona merah COVID-19 sedangkan Jogja dan Aceh keduanya tidak menerapkan PSBB,

Jelang ramadhan hari pertama, berita buruk lagi-lagi saya dapatkan, hal ini membuat hati saya semakin kacau.  Berita tentang Permenhub (peraturan menteri perhubungan) nomor 25 Tahun 2020 yang mengatur pelarangan mudik semakin ramai diperbincangkan apalagi setelah konfrensi press yang dilakukan langsung oleh kemenhub di graha BNPB bersama gugus tugas percepatan penaganan COVID-19. Adita Irawati selaku Juru Bicara kemenhub mengatakan “Perlu dipahami bahwa peraturan ini akan mulai berlaku pada tanggal 24 April 2020 pukul 00.00 waktu Indonesia Bagian Barat

Kebijakan yang tiba-tiba
Permenhub Nomor 25 Tahun 2020 tersebut ditandatangani pada tanggal 23 April 2020 oleh Menteri Perhubungan Ad Interim, Luhut Binsar Pandjaitan. Sangat bisa dikatakan kebijakan ini begitu tiba-tiba dan mengejutkan  kita masyarakat awam. Tidak ada yang memperkirakan bahwa kebijakan pelarangan mudik akan dikelurkan hanya satu hari sebelum pelarangan diberlakukan.

Tentu kemungkinan besar pemerintah telah memikirkan secara matang sebelum peraturan ini dikelurkan dan diberlakukan. Juga terkait rentang waktu yang sangat singkat antara dikeluarkan peraturan dan pemberlakukan aturan, kita harus sebisa  mungkin berprasangka baik bahwa hal ini dilakukan dengan alasan yang baik pula, walaupun hati terus berontak.

Bagi yang memiliki prasangka baik kepada pemerintah tentu setuju akan kebijakan pelarangan mudik di masa pandemi COVID-19, selain karena alasan untuk menekan penyebaran virus corona ke daerah-daerah juga banyak pertimbangan lain dari pemerintan yang belum sampai untuk perkirakan. Namun bagi mereka yang memiliki prasangka baik, juga tentu boleh mempertanyakan mengapa baru dilarang sekarang, mengapa tidak jauh-jauh hari, ketika pandemi mulai masuk ke Indonesia.

Bagi mereka yang telah mempersiapkan tiket dan hendak melakukan mudik juga muncul serupa, ditambah lagi pertanyaan mengapa kebijakan ini diberlakukan begitu tiba-tiba, apakah pemerintah tidak mempertimbangkan masyakat yang telah membeli tiket transportasi dan berjanji kepada keluarga untuk pulang di tanggal sekian, karena telah memiliki harapan berupa tiket.Lagi pula, sampai last minute peraturan ini diterbitkan, agen-agen penjualan tiket masih menjalan bisnis penjualan tiket seperti biasa.  

Pada salah satu berita di detik.com  luhut menerangkan keputusan terkait mudik itu merupakan langkah bertahap. Strategi itu menurut luhut merupakan strategi militer. "Strategi pemerintah seperti strategi militer itu adalah strategi bertahap bertahap bertingkat berlanjut semua dipersiapkan matang, cermat"

Terserah pemerintah mau menggunakan strategi apapun, tapi menurut saya pelarangan mudik yang dilakukan secara tiba-tiba ini merugikan. Jika sejak awal pemerintah sudah jauh-jauh hari tegas mengatakan pelarangan mudik akan diberlakukan pada tanggal sekian, tentu semua akan dapat menerima, orang-orang tidak akan mungkin membeli tiket, begitupula agen tidak akan menjual tiket.

Alasan klasik lain adalah jika menerbitkan atusan jauh hari sebelum pelaksaan pelarangan mudik, akan menimulkan lonjakan. Nyatanya sama aja, permberlakuan aturan sehari setekah aturan terbit juga menimbulkan lonjakan pada hari-hari sebelumnya.

Intinya adalah ketegasan pemerintah itu yang paling utama. Jangan berikan masyarakat ketidakpastian, jika memang mudik dilrang maka sudah sepatutnya dari jauh-jauh hari tidak sudah tidak dijual, sehingga tidak memakan banyak korban, sudah membeli tiket akhirnya bingung, bimbang apakah jadi mudik atau tidak.

Refund yang merugikan konsumen
Sebagai mahasiswa yang tidak memiliki dana yang banyak, maskapai dengan harga yang ekonomis adalah pilihan yang wajar bagi saya, bisa dikatakan saya sudah sangat akrab dengan maskapai yang memiliki tagline "We Make People Fly” bagaimana tidak harganya yang jauh dibawah maskapai-maskapai lain membuat saya tidak memiliki pihan seperti yang sempat dikatakan oleh CEO-nya “Maskapai Saya Paling Buruk di Dunia, tetapi Anda Tak Punya Pilihan”

Setelah memastikan bahwa benar bandara akan ditutup, dan semua penerbangan akan dibatalkan sejak pemberlakukan permenhub Nomor 25 Tahun 2020, kemudian diperkuat dengan SMS yang dikirimkan oleh pihak maskapai terkait pembatalan penerbangan karena aturan kemenhub tersebut. Saya mulai mencari informasi terkait kebijakan refund.

Dalam pesan singkat yang dikirimkan pihak maskapai mengatakan terkait informasi refund silahkan menghubungi no telp xxx. Sebelum menghubungi nomor tersebut saya sebelumnya sudah membaca beberapa informasi terkait kebijakan refund maskapai yang sudah saya booking tersebut.

Kebijakan refund yang diatur adalah akan dikembalikan 100% namun dalam bentu travel voucer. Kecewa pasti setelah mendapatkan informasi tersebut, ditambah lagi informasi bahwa travel voucer tersebut hanya bisa digunakan sebelum 30 oktober 2020, artinya mereka memberikan tenggat waktu.

Lagi-lagi saya panik dan tidak bisa menerima kebijan tersebut, sampai saya memastikan langsung dengan menghubungi call center maskapai terkait. Semua jawaban yang diberikan sesuai dengan informasi yang saya dapatkan, bahwa pengantian berupa travel voucer bukan uang tunai dan hanya bisa ditukarkan sebelum 30 oktober 2020. Lebih parahnya lagi adalah travel voucer hanya bisa dingunakan satu kali, artinya jika harga tiket berikutnya lebih murah dari sebelumnya maka sisa saldo travel voucer yang kita tidak bisa dingunakan lagi.

Munkin beberapa orang bisa menerima kebijakan tersebut, namun saya sama sekali tidak. Saya benar-benar merasa dirugikan, ternyata yang merasakan hal yang sama tidak hanya saya sendiri, ketika saya mencoba berselancar di sosial media, begitu banyak konsumen yang terbawa emohi dan mencaci maki kebijakan sepihak tersebut. Namun apa mau dikata, kita tidak punya kuasa apapun terhadap kebijakan yang telah diputuskan ini.

Benar memang bahwa maskapai banyak yang ikut mergugi dimasa pandemi ini, sesuai dengan berita-berita di berbagai media, tentu kita mengerti hal tersebut, namun jika konsumen ikut dijadikan korban atas kerugian yang dialami maka saya sema sekali tidak iklas. Ditambah lagi aturan pemerintah yang memperbolehkan refund tidak dalam bentu uang tunai, ini sangat disayangkan.

Pembinis boleh naik pesawat
Beberapa hari setelah aku mulai bisa menerima aturan pemerintan terkait pelarangan mudik, dan juga kebijakan maskapai yang hanya memberikan refund berupa travel voucer yang bisa dingunakan pada penerbangan berikutnya dengan batas waktu tertu, tiba-tiba ada berita yang beredar di twitter bahwa maskapai yang sebelumnya aku sebutkan memberlakukan kebijakan pembinis boleh naik pesawat untuk perjalan bisnis.
Seketika aku semakin kecewa dengan peraturan yang dari awal sudah diputuslkan secara mendadak, dan diubah juga dengan mendadak. Aku sebagai masyarakat benar-benar tidak habis pikir, sebenarnya tujuan pelarangan mudik apakah benar untuk memutus penyebaran virus corona, jika pembisnis masih diperbolehkan naik pesawat. Pertanyaan berikutnya, apakah pembisnis anti dari virus ini sehingga diberbolehkan.

Pemberlakukan aturan yang memperbolehkan pembisni naik pesawat memang diikut dengan beberapa poin aturan yang harus dilakukan bagi mereka yang akan melakukan perjalan menggunakan pesawat seperti harus benar-benar sehat dan lain sebagainya, namun apakah pihak maskapai bisa memastikan 100% aturan ini benar-benar terpenuhi sesuai standar yang diberlakukan.

Pada akhirnya ambiguitas pelarangan mudik yang terjadi dimasa pandemi ini menimulkan kekecewaan banyak pihak termasuk saya sebagai perantau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar