Selasa, 09 April 2019

Terlena Dompet Digital

Kopi hampir menjadi teman pada setiap malam selama masa libur kuliah semester ini, bersama novel sejarah Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Saya bisa menghabiskan waktu 4 sampai 5 jam hanya untuk mengejar target menyelesaikan seluruh novel tersebut sesegera mungkin. Tempat yang saya pilih biasanya mengacu pada tempat ngopi yang menawarkan promo, baik itu berupa diskon maupun cashback. Sama sekali tidak sulit untuk menemukan tempat ngopi sesuai acuan tersebut. Hampir setiap hari ada saja tempat ngopi yang menawarkan berbagai promo menarik. Misalnya, menawarkan promo cashback 25% dengan menggunakan T-Cash.



T-Cash merupakan dompet digital dari provider plat merah Telkomsel. Dompet digital ini bisa dikatakan yang paling berkembang dan bertahan dibandingkan layanan serupa yang diterbitkan oleh provider lain yang rata-rata adalah perusahaan swasta, sebut jasa Paypro dari Indosat, XL Tunai dari XL, dan Uangku dari Smartfren.

Saya telah menggunakan dompet digital T-Cash sejak awal 2017. Bermula ketika mengikuti sebuah acara seminar yang dilaksanakan oleh Telkomsel, pihak panitia menginstruksikan setiap peserta untuk mendaftarkan T-Cash sebelum masuk ke ruangan. Tidak sekadar mendaftar, panitia juga meminta peserta untuk ikut mencoba top-up (mengisi saldo), dan merasakan sensasi bertransaksi menggunakan fitur Tap T-Cash dengan promo menarik, yaitu seluruh makanan yang dijual di lingkungan seminar berharga Rp 1 (satu rupiah).


Setelah perkenalan pertama tersebut, saya tidak langsung terlena untuk menggunakannya. Alasan saya sederhana, karena ketika itu setiap kali top-up masih dikenakan biaya administrasi sebesar Rp 6.500. Hal tersebut membuat saya yang kebetulan masih berstatus mahasiswa sama sekali tidak tertarik untuk lanjut menggunakan T-Cash. Hingga akhirnya (saya lupa kapan tepatnya) T-Cash membebaskan biaya administrasi untuk setiap top-up jika menggunakan BCA. Sejak saat itu saya mulai menjadi terlena untuk menggunakan T-Cash di setiap transaksi, ditambah lagi dengan banyaknya promo menarik yang ditawarkan, seperti cashback sekian persen di kafe tertentu.

Persaingan
Informasi terbaru, kini T-Cash telah berubah menjadi LinkAja. Khusus pengguna aplikasi T-Cash, sudah sejak 22 Februari 2019 sudah bisa memperbarui aplikasi tersebut di Google Play (Android) dan AppStore (Apple) untuk menjadi aplikasi LinkAja. Namun bagi pengguna baru, aplikasi baru tersebut akan bisa diunduh sejak 1 Maret 2019.


LinkAja adalah sebuah layanan dompet digital yang merupakan sinergi dari berbagai perusahaan di bawah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Adapun perusahaan yang ikut bergabung bersama LinkAja adalah Telkomsel dengan komposisi 25% saham, kemudian Bank Mandiri, BRI, BNI sebesar 20% saham, BTN dan Pertamina 7% saham, dan Jiwasraya 1% saham.

Pada dasarnya setiap bank yang terhimpun dalam HIMBARA (Himpunan Bank Milik Negara) seperti Bank Mandiri, BNI, BRI, BTN memiliki layanan dompet digital masing-masing. Bank Mandiri memiliki E-Cash, BNI memiliki UnikQu dan Yap, BRI mempunyai Tbank --hanya BTN yang kelihatannya belum memiliki dompet digital sendiri. Kini seluruh aplikasi dompet digital tersebut akan melebur menjadi satu yaitu LinkAja. Beberapa minggu yang lalu, saya juga sempat mendapatkan pemberitahuan dari pihak BNI melalui SMS terkait perpindahan layanan Yap ke LinkAja.

Berbagai media online sudah sejak beberapa bulan yang lalu memberitakan soal LinkAja. Ada beberapa judul unik yang mengatakan bahwa LinkAja akan menjadi pesaing baru Go-Pay dan OVO. Penyebutan dompet digital Go-Pay dan OVO memang tepat, karena untuk saat ini kedua dompet digital tersebut merajai pasar transaksi uang digital di Indonesia.

Pada sebuah tayangan program bernama "Profit" di CNBC Indonesia dengan mengangkat tema LinkAja Siap Hadang Go-Pay dan OVO sang presenter Aline Wiratmaja menyampaikan beberapa data menarik, dari struktur kepemilikan saham LinkAja, data pemetaan persaingan jumlah pengguna beberapa layanan dompet digital, sampai dengan data jumlah transaksi uang elektronik di Indonesia yang terus meningkat drastis.

Dari penjabaran yang dilakukan oleh Aline soal pemetaan persaingan berdasarkan data Fintech Report 2018 yang dilakukan oleh Dailysosial disebutkan bahwa jumlah pengguna Go-Pay telah mencapai 79% dari total responden, kemudian diikuti oleh OVO 58%, T-Cash 55%, dan Dana 34%.

Sedangkan untuk data transaksi uang elektronik di Indonesia yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI) perbedaan antara jumlah transaksi uang elektronik pada 2017 dan 2018 cukup terlihat signifikan, bahkan mencapai tiga kali lipat. Pada 2017 jumlah transaksi masyarakat Indonesia menggunakan dompet digital hanya sebesar Rp 12,37 triliun, sedangkan pada 2018 mencapai Rp 47,19 triliun. Wow, data yang luar biasa!

Memanjakan Pengguna 

Promo cashback 40% yang ditawarkan oleh Go-Pay ternyata membuat saya beralih dari kafe sebelumnya ke kafe lainnya. Cashback 40% dengan hanya bertransaksi menggunakan Go-Pay memang bukan sebuah persyaratan sulit. Saya telah menggunakan Go-Pay sejak pertengahan 2017. Saat itu untuk top-up di Go-Pay masih tanpa biaya administrasi, namun sekarang Go-Pay memberlakukan biaya administrasi Rp 1000 --masih relatif murah. Dan, saya pribadi tidak keberatan dengan biaya tersebut.

Sejak saat itu saya terus konsisten menggunakan Go-Pay. Awalnya hanya untuk sekadar membayar transaksi layanan Go-Jek, karena ketika itu memang mereka hanya memberlakukan Go-Pay untuk hal tersebut. Alasan saya memilih transaksi menggunakan Go-Pay untuk layanan Go-Jek selain karena menawarkan banyak cashback, juga karena lebih praktis. Sampai saat ini, akhirnya Go-Pay hampir bisa membayar segala macam transaksi, mulai dari membeli tiket bioskop di mall hingga warung pecel lele di pinggir Jalan Kaliurang (Sleman, Yogyakarta).

Go-Pay menawarkan berbagai macam promo menarik, seperti beberapa kali menyelenggarakan program Gopay Payday yang berjalan selama satu minggu dengan tawaran cashback sampai dengan 50% untuk merchant yang bekerja sama dengan mereka. Konsumen cukup bertransaksi menggunakan Go-Pay pada rekanan mereka untuk bisa mendapatkan cashback tersebut.

Seperti tak ingin membiarkan Go-Pay merajai pasar transaksi pembayaran digital di Indonesia sendirian, OVO ikut hadir dengan berbagai macam promo yang tak kalah besarnya. Pengguna dibuat semakin terlenan dengan berbagai kekuatan promo yang ditawarkan masing-masing penyedia dompet digital tersebut. OVO sang kompetitor besar Go-Pay menawarkan cashback lebih besar, yaitu sampai dengan 60% setiap transaksi di tempat yang sama.

Segera saya teralihkan untuk lebih memilih menggunakan OVO dibandingkan Go-Pay. Sebetulnya ketika itu, saya tidak memiliki saldo OVO, namun karena kemudahan top-up yang bisa menggunakan BCA Mobile dan bebas biaya admin, saya langsung melakukan top-up menggunakan metode tersebut.

OVO merupakan dompet digital milik Lippo Group. Perkenalan awal saya dengan OVO sekitar akhir 2017 lalu, saat itu saya sedang ke Lippo Plaza Jogja dengan tujuan nonton film. Sejak dari parkiran sampai ke dalam mall ada begitu banyak informasi dan promosi OVO yang tentunya akan membuat siapa pun penasaran dengan apa itu OVO. Akhirnya saya langsung mencoba unduh dan daftar aplikasi ini.

Setelah memiliki aplikasi dan terdaftar, saya mengunjungi OVO Booth yang berada sangat dekat dengan bioskop, salah seorang petugas menjelaskan bahwa dengan menggunakan OVO, pengguna akan mendapatkan cashback berupa point setiap transaksi, termasuk transaksi di bioskop. Langsung saja saya tertarik, dan melakukan top-up sebesar Rp 100.000 --kebetulan juga jika melakukan top-up melalui OVO Booth bebas biaya administrasi. Promo yang ditawarkan OVO ketika itu untuk setiap transaksi pembelian tiket bioskop adalah cashback sebesar 20%, lumayan bagi mahasiswa untuk bisa berhemat.

Setelah perkenalan dan top-up pertama tersebut, untuk beberapa lama saya tidak pernah lagi menggunakan OVO, dengan alasan yang sama yaitu diberlakukannya biaya administrasi setiap kali top-op menggunakan metode transfer bank sebesar Rp 6.500. Namun biaya administrasi tersebut akhirnya ditiadakan dengan menggunakan transfer Bank Mandiri dan BCA, dan karena saya pengguna kedua bank tersebut, maka hal ini saya sambut dengan antusias. Promo lain yang saya gunakan dari promo yang ditawarkan oleh OVO pada perkenalan tersebut adalah biaya parkir Rp 1 di Lippo Plaza Jogja.

OVO kini telah bekerja sama dengan Grab dan Tokopedia, di mana kedua aplikasi tersebut menjadikan OVO sebagai dompet digital mereka. Hal ini akibat ditolaknya (atau lamanya) proses perizinan yang diberikan oleh BI kepada Tokopedia dan Grab untuk menjadi penyelenggara pembayaran digital pada platform mereka.

Sampai Kapan? 

Dalam upaya memenangkan persaingan menjadi raja dompet digital nomor satu di Indonesia, para penyedia layanan dompet digital seperti Go-Pay, OVO, dan LinkAja bersaing dengan jor-joran memberikan begitu banyak promo kepada para pengguna.

Sebenarnya jumlah penyedia layanan dompet digital di Indonesia kian bertambah, tidak hanya tiga perusahaan besar tersebut. Menurut BI, kini total ada 41 dompet digital yang sudah beredar, terdiri dari 30 dompet digital berbasis server dan 11 dompet digital berbasis chip. Dan, masih ada berpotensi untuk bertambah sejalan dengan izin yang diberikan oleh BI.

Banyaknya jumlah perusahaan yang masuk menjadi penyedia layanan uang elektronik adalah bukti bahwa perusahaan terlena dengan pasar Indonesia yang sangat besar, juga dengan pertumbuhan transaksi menggunakan dompet digital yang meningkat tajam. Jumlah promo besar yang diberikan oleh para penyedia layanan dompet digital tersebut juga adalah bukti bahwa banyak perusahaan yang terlena untuk ikut merasakan keuntungan dari transaksi menggunakan uang elektronik.

Menurut Techinasia, diperkirakan Go-Pay dalam sebulan bisa membakar uang untuk subsidi pengguna sampai dengan Rp 15 miliar. Nominal ini sangat fantastis bukan? Semua itu dilakukan tentu mempertimbangkan berbagai aspek dengan tujuan mencapai target besar, seperti mengakuisisi pengguna, membuat pengguna loyal, sampai merajai pasar transaksi pembayaran digital di Indonesia.

Strategi bakar uang seperti yang dilakukan oleh Go-Pay tidak lain bersumber dari dukungan investasi yang kuat dari para investor. Hal ini juga berlaku pada berbagai penyedia layanan lain, yang memiliki investor masing-masing. Kini yang menjadi pertanyaan adalah sampai kapan para penyedia layanan dompet digital tersebut mampu memberikan berbagai macam promo kepada pengguna? Sebagai pengguna, tentu saya berharap selamanya!

Artikel ini telah diterbitkan di Kolom detik.com sebelumnya pada 12 Maret 2019, dengan judul yang sama (Lihat disini)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar