Sekilas, sesaat
setelah membaca judul dari artikel ini mungkin sebagian besar teman-teman
bertanya-tanya. Ujian apa yang dimaksud disini, Mengapa harus menyalahkan ujian
saat kreatifitas terhambat. Apa salah ujian ? Jadi untuk lebih memperjelas, di paragraf awal ini aku menjelaskan ujian apa yang dimaksud. Ujian yang disinggungkan disini adalah segala bentuk ujian dalam ranah pendidikan. Bukan ujian hidup !!
Silahkan, jika ada teman-teman
yang tidak setuju dengan opini yang akan aku utarakan berikut ini. Tak ada satu
keharusan bahwa ketika membaca sebuah artikel opini kita harus setuju dengan
pendapat penulis, semua kembali kepada pembaca, mau setuju atau tidak.
Langsung saja,
ceritanya begini. Sejak awal aku menjadi siswa pendidikan formal yaitu
tingkat sekolah dasar (SD) aku dan juga semua teman-teman yang masuk ke kelompok pendidikan formal akan merasakan
yang namanya ujian. Hal ini dari sejak awal kita menjadi siswa, tepatnya di
kelas satu, semester satu.
Hingga sekarang aku
menjadi mahasiswa, begitu juga teman-teman mahasiswa lainya, pastinya sangat dekat dengan yang namanya ujian. Beda tingkatan tentunya juga beda sistem. Jika
dimasa SD dan SMP aku hanya merasakan 2 X ujian dalam satu tahun, dimasa SMA
dan Kuliah aku harus merasakan 4 X Ujian dalam satu tahun.
Rasanya, baru saja
kemarin semester baru dimulai, lah tiba-tiba sekarang sudah masuk
dalam masa ujian lagi. Mungkin teman-teman mahasiswa lain juga
merasakan hal yang sama. Waktu rasanya berjalan begitu cepat, berlaripun rasanya tida ada kesempatan untuk tidak ditinggal oleh waktu. Aku masih kurang yakin jika ini hanya perasaanku seorang. Aku rasa ada banyak mahasiswa lain yang merasa hal yang sama.
Sekarang yang kembali
menjadi pertanyaan, apa hubungan antara ujian dan pembatasan kretifitas. Jika dilihat dari sisi psikologis sendiri
ketika menghadapi ujian, kita selalu dibuat terlalu fokus sehingga mental kita menjadi
takut untuk mengekspresikan kreatifitas. Mungkin bisa dilihat ketika masa ujian,
teman-teman yang berkarya menjadi sepi, ya semua ini ditimbulkan dari mental
takut tadi.
Hal inilah yang
menurutku menjadi sisi negatife dari sebuah ujian. Alangkah baiknya memang jika
ujian tidak terlalu sering dilaksanakan. Mungkin bisa menjadi pertimbangan
untuk pihak pembuat kebijakan, apakah petinggi universitas atau bahkan menteri pendidikan dan menteri ristek dikti bisa mempertimbangkan jumlah ujian dalam satu tahun. Apakah hanya setahun
sekali di akhir semester genap, ataupun setahun dua kali di setiap akhir semester.
Jujur Aku pribadi sangay
keberatan dengan sistem ujian yang ada di kampusku saat ini. Mungkin juga sama
dengan kampus teman-teman, dimana aku harus mengikuti empat kali ujian setiap tahunnya. Mulai dari ujian tengah semester (UTS) genap, ujian akhir semester genap (UAS), ujian
tengah semester (UAS) ganjil, ujian akhir semester (UTS) ganjil. Rasanya aku kuliah hanya untuk mengikuti ujian, masa belajar hanya sekitar 2 bulan dan sebulan untuk masa ujian, begitulah alur yang terus terulang di sistem pendidikan yang saat ini aku jalani
Hal ini sangatlah
memberatkan ketika seorang mahasiswa ingin berkarya dalam bentuk apapun, mahasiswa
tentunya akan ikut terbebani ketika sedang berkarya dalam waktu yang berdekat atau bahkan bersamaan dengan
ujian. Ujian apapun itu, baik UTS maupun UAS. Semua sama, semua membuat mental seorang
mahasiswa menjadi terlalu fokus kepada ujian sehingga membuat pikiranya susah untuk berpikir dan mengeluarkan seluruh kreatifitas untuk berkarya.
Kreatifitas karya
yang aku maksud disini bersifat umum, apapun itu yang dihasilkan oleh
mahasiswa. Mau itu produk, karya, tulisan, desain, ataupun sebuah acara. Semua
hal ini akan sangat terganggu saat masa ujian. Apalagi yang
kita tau banyak hal yang sifatnya berkelanjutan yang dibuat mahasiswa, sehingga
saat ujian tiba semua hal tersebut terlupakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar