Selasa, 21 Juni 2016

Cerita Puasa Ramadan si Anak Rantau

Merantau merupakan hal yang dianggap menakutkan bagi sebagaian orang, namun sebagian lain menganggap ini adalah langkah awal untuk meraih mimpi dan cita-cita, kali ini ane akan coba mengemas artikel ini dalam bentuk cerita, karena artikel-artikel sebelumnya kebanyakan berbentuk ceramah.


Sembari menunggu sahur (ketika artikel ini ditulis) ane akan sedikit  berbagi rasanya 15 hari pertama puasa di perantauan, ini adalaha puasa ramadan dan juga nanti akan dilanjutkan dengan lebaran Idul Fitri perdana ane diperantauan. Jauh dari keluarga, jauh dari teman lama, jauh dari tanah kelahiran memang sedikit banyak akan terasa memberatkan, namun fokus pada tujuan dan mimpi akan membuat rasa berat menjadi sedikit lebih ringan

Hal pertama yang paling terasa adalah melakukan shalat tarawih, sahur dan buka perdana tanpa keluarga. Saat shalat tarawih malam pertama ane shalat di mesjid dekat tempat tinggal ane, jaraknya tidak begitu jauh, bisa dijangkau cukup dengan berjalan kaki. Saat di Aceh momen shalat tarawih malam pertama ane selalu pergi bersama adik ane ke mushola desa. Sedangkan sahur juga jauh berbeda, dimana biasanya ane sahur bersama keluarga di meja makan dengan makanan masakan ibu ane dan sekarang harus sahur bersama teman asrama KABY

Buka puasa perdana diperantau ane lewati dengan sedikit tidak terasa karena ketika itu ane berbuka di warung makan aceh milik salah satu saudara ane yang ada di jogj. Ketika itu kami berbuka bersama dengan masakan khas Aceh. Moment buka puasa hari kedua terasa berbeda, dimana ane berbuka puasa sendiri di salah satu warteg dekat tempat tinggal ane. Luar biasa, ketika berbuka sendiri ane begitu terasa sebagai perantau, berbuka sendirian, tanpa keluarga, namun yang sedikit menyenangkan hati adalah menunya adalah ayam goreng yang enak banget, ya karena juga saat itu belum sampai ke tanggal tua

Sebagai perantau, memilih tempat berbuka puasa itu sesuai bisikan hati. Sangat berbeda pada saat belum merantau, berbuka puasa ya pasti di rumah, sekali paling buka di luar jika ada acara buka bersama. Sampai hari ini, ane sudah berbuka di banyak tempat, diantaranya di warung Kopi Ayah, di Warteg belakang tempat tinggal, warung makan padang (Saat kangen masakan padang) kemudian juga berbuka di acara yang di adakan oleh Himpunan Masyarakat Aceh Yogyakarta (HIMA), kemudian acara yang kami adakan sendiri oleh Keluarga Aceh Besar Yogyakarta (KABY) dan ada beberapa kali di Masjid.

Berbuka di mesjid adalah suatu hal yang paling menarik dan menjadi pilihan banyak perantau, yang membuat asik di Jogja ini adalah hampir setiap mesjid mengadakan buka puasa bersama setiap harinya. Buka bersama di masjid ini bersifat umum seluruh umat muslis boleh berbuka disitu. Menunya sendiri sangat beragam, sampai-sampai ada satu portal mahasiswa jogja membuat sebuah artikel yang memberi dafta mesjid-mesjid yang menyediakan makanan makanan enak lengkap dengan menu perharinya, tentu ini akan menjadi mesjid yang paling banyak diburu oleh para mahasiswa

Untuk sahur, para penghuni asrama KABY membuat jadwal piket yang bertugas untuk masak nasi, lauk dan membuat air untuk teman-teman lain, selain itu piket juga harus membangunkan sahur seluruh anggota asrama, lumayan memang tugasnya. Sistemnya adalah seluruh anggota asrama mendapatkan jadwal piket dan patungan untuk kebutuhan belanja. Ane masuk ke jadwal piket kelompok kelima yang merupakan kelompok terakhir, perkelompok dibagi sekitar 3-4 orang. 

Tugas biasanya dimulai sejak sore yaitu berbelanja kebutuhan masakan di pasar. Sedangkan proses masak dilakukan tenggah malam  sekitar jam 12 atau jam 1 malam. Ada cerita konyol yang sedikit memalukan saat jadwal piket ane, saat itu karena lumayan ngantuk ane tidur sebentar sebelum bertugas, dan kurang lebih jam 1, teman ane membanggunkan ane, dia langsung berkata "masak nasi ya.." dengan begitu percaya diri ane kata "oke…"

Seperti memasak nasi biasanya, ane mulai dengan membersikan rice cooker dan kemudian memasukan beras, namun berbeda beras yang dimasukan kali ini super banyak karena untuk banyak orang. Setelah itu langsung ane menambah air tanpa takaran.

Singkat cerita setlah 1 jam kurang ane mengecek setiap Rice Cooker (ada sekitar 4 rice cooker) dan ternyataa... nasinya satupun tidak ada yang berhasil masak, masalahnya berbeda-beda, ada yang memang tidak masak karena kebanyakan beras, ada yang setengah masak, ada yang sudah masak namun keras luar biasa, akhir cerita semua nasi tersebut harus dikukus di kompor agar bisa kembali normal, dan saat ini waktu begitu mepet, sedangkan lauk sendiri juga belum masak keseluruhan

Namun disana ane belajar satu hal, bahwa ane tidak bisa apa-apa dalam hal masak, tingkat memasak nasi aja tidak bisa, dan disini diperantauan ini ane mulai belajar berbagai hal yang tidak pernah ane pelajari di Aceh, mengapa tidak pernah ane pelajari di Aceh ? karena hidup ane di Aceh begitu tenang, mau makan nasi sudah dimasak, lauk dan sebagainya sudah lengkap, ane merasa tidak ada sedikitpun kemandirian dalam diri ane saat itu, baju kotor tinggal masukan ke mesin cuci, butuh apa apa tinggal minta sama orang tua, ya begitulah andainya ane tidak memilih merantau mungkin ya hidup ane begitu saja mengikuti arus.

Semoga bermanfaat, dan luar biasa terima kasih buat yang baca, jangan lupa share dan commenth ya, oh iya karena ini juga sudah mau sahur ane pamit undur diri dari artikel ini sekali lagi semoga bisa bermanfaat bagi pembaca sekalian.

5 komentar:

  1. Wah..ternyata hidup kita tidah jauh berbeda teman :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. begitulah teman, nasib perantau yang harus pertama kali puasa di daerah orang

      Hapus
  2. merantau itu membangun kemandirian dan kesiapan mental kita bro .. so enjoy it .. salam blogwalking

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oke, thanks semangat dan motivasinya gung..
      salam blogger Aceh !

      Hapus
  3. Wah ka. . Sama juga yah,, izin ngutip beberapa kata nggeh

    BalasHapus