Jumat, 13 Juli 2018

Himmah Fest, acara Pertama yang Penuh Drama

Himmaf Fest 1.0 mungkin bisa jadi salah satu acara terabsurd yang pernah ada. Sistem dan pola kerja kepanitiaan ini cukup unik dan beda dengan kepanitian-kepanitian yang ada dilingkungan Universitas Islam Indonesia (UII). Bahkan mungkin juga beda jauh dengan kepanitian yang ada universitas-universitas di Indonesia lainnya.

Jadi sekitar 3 bulan yang lalu (Bulan Mei 2018 kalau tidak salah) aku ditunjuk dan diamanahi menjadi ketua panitia Himmah Fest. Beberapa hari sebelumnya memang memang aku sempat berpikir untuk ingin menjadi ketua sebuah kepanitian di acara skala nasional, maka tanpa pikir panjang, tawaran tersebut langsung aku terima.


Sebelumnya perlu diketahui bahwa Himmah Fest merupakan acara yang diselenggarakan oleh Lembaga Pers Mahasiswa Himmah Universitas Islam Indonesia (LPM Himmah UII). Acara Ini merupakan Himmah Fest yang pertama (Semoga ada kelanjutannya di tahun berikutnya), dengan tiga rangkaian acara utama yaitu Lomba (feuture, infografik dan fotografi), pameran(foto dan arsip) dan terakhir acara diskusi sekaligus peluncuran Himmah Online.

Walaupun ini acara Himmah Fest yang pertama perlu diketahui bahwa LPM Himmah UII merupakan salah satu lembaga pers mahasiswa (LPM) yang paling tua di Indonesia. LPM Himmah UII lahir pada 11 Maret 1967, dengan nama Muhibbah. Namun karena satu dan lain hal pada tahun 1982 Muhibbah di dibredel oleh rezim. Singkat cerita berganti nama menjadi Himmah agar bisa kembali aktif, dan Pemimpin Umum saat pertama kembali aktif dan berganti nama menjadi Himmah adalah Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD., S.H., S.U

Jujur aku hanyalah anggota baru di LPM Himmah UII. Aku baru bergabung di Himmah ketika masa kepengurusan 2017 (atau sama dengan tahun kedua ku kuliah). Sama halnya dengan anggota baru di organisasi-organisasi lain, pada awalnya aku juga adalah salah satu anggota yang sangat pasif (dalam artian kurang sering mengikuti kegiatan organisasi).

Permulaan aku dipilih menjadi ketua itu adalah saat rapat perdana pembentukan panitia, dan kebetulan saat itu aku hadir. Dari pihak pengurus lama mempercayakan seluruh panitia inti Himmah Fest kepada anggota baru maka ditentukanlah calon ketua dan ditanya bersedia atau tidak, dan seperti yang sempat aku singgung diatas tadi, aku langsung mengiyakan bahwa aku bersedia. Salah satu alasan unik mengapa aku ditunjuk menjadi ketua adalah agar aku bisa aktif, dan ternyata benar, aku bisa aktif hingga sekarang di LPM Himmah UII

Segera setelah aku mengiyakan bersedia menjadi ketua, struktur panitiapun langsung dibentuk, awalnya terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara divisi lomba, divisi pameran, divisi diskusi, perlengkapan, konsumsi dan sponsorship. Disini bentuk kepanitianya sudah ditentukan oleh pihak pengurus lama bukan dari aku pribadi.

Selang beberapa hari setelah pembentukan panitia, akupun menjadi seorang yang aktif dan fokus pada acara Himmah Fest, namun kembali seperti yang aku katakan tadi walau fokus aku sangat santai menjalankan tugas sebagai ketua. Hal ini yang paling tampak adalah dari frekuensi rapat yang kami adakan, itu sangatlah minim. Selain itu juga walau aku menjadi ketua panitia aku bisa mengikuti satu lomba dan mengikuti acara-acara yang di adakan UII ataupun kampus lain.

Ini bukan kali pertama aku terlibat di kepanitian, ada beberapa kepanitian lain yang pernah aku jalankan, dan itu benar-benar terasa tidak santai. Kenapa tidak santai ? sederhana, yang buat tidak santai adalah frekuensi rapat yang terlalu sering, tidak hanya kepanitian namun juga organisasi yang pernah aku ikuti umumnya memiliki frekuensi yang terlalu banya. Terkadang bahkan pembahasan rapat hanya mengulang pembahasan yang telah dibahasas di rapat sebelumnya. Dan akhirnya rapat yang menyita waktu mungkin kurang lebih empat jam tidak menghasilkan apa-apa, hanya pembahasan yang memgulang ataupun perencanaan tanpa realisasi.

Hal yang membuat aku membatasi frekuensi rapat adalah aku pribadi merasa jenuh dengan sistem rapat terus menerus. Namun bukan berarti ketika ada hal-hal yang genting juga tidak dirapatkan. Aku membiasakan diri untuk menyederhanakan sesuatu dan tidak membuat segala sesuatu menjadi ribet, sehingga harus menggubah beberapa budaya sistem lama yang ada di kepanitian sebelumnya.

Memang ada sisi negatif dari sistem begini. Intensitas tatap wajah yang kurang menjadikan beberapa panitia terasa kurang akrab, namun menurut analisaku ini bukan kesalahan utama, semua itu kembali ke masing-masing manusia, Seberapapun sering jumpa jika dia membatasi diri untuk tidak berinteraksi dengan orang lain akan susah mendapatkan rasa keakraban dan kekeluargaannya.

Mungkin nanti akan ada pembahasan tersendiri di satu artikel yang akan aku posting di blog ku ini terkait budaya kepanitian di kampusku, yang aku pribadi merasa janggal dengan sistem yang ada yang telah membudaya tersebut, dan jujur aku sama sekali tidak suka dengan hal-hal tersebut, bahasa kasarnya bisa dikatakan seperti ada pembodohan yang dilakukan secara tidak langsung yang tidak ada seorangpun menyadari karenan menganggap ini adalah hal yang wajar.

Kembali ke topik cerita. Jadi acaraku ini bisa dibilang adalah sebuah acara besar skala nasional, namun berjalan begitu santai mulai dari yang aku katakan tadi frekuensi rapat yang minim, Kemudian jumlah panitia yang juga sedikit, sampai dengan masa proses kepanitian yang terpotong oleh libur puasa dan lebaran sekitar tiga mingguan.

Jujur aku pribadi merasa unik dengan hal ini. Berberapa drama hadir di acara yang dibawa santai ini, permulaannya adalah ketika salah satu panitia yang memiliki jabatan strategis di inti kepanitiaan, memutuskan untuk berhenti dari LPM Himmah UII, Secara otomatis jabatannya di kepanitian Himmah Fest ikut terhenti, dan imbasnya adalah kepanitian ini hilang salah satu panitia inti dan harus mencari ulang pengantinya, Sampai akhirnya posisi tersebut dialihkan ke pengurus inti lembaga yang memiliki posisi yang sama di lembaga.

Drama selanjutnya adalah pecahnya fokus panitia antara membuat konten dan kepanitian. Mungkin hampir mayoritas panitia tetap ikut membuat konten untuk di publikasi di Himmah Online, bisa dibilang hanya aku yang sama sekali tidak membuat karya selama masa kepanitian. Mungkin jika aku mengatakan alasan bahwa aku tidak membuat karya karena tidak ada waktu juga baik, namun aku hanya mencoba untuk fokus namun tetap santai. Sedangkan teman-teman yang lain yang aktif membuat karya aku melihatnya fokusnya terpecah, bukan waktunya yang tidak ada untuk Himmah Fest. Sampai akhirnya ada beberapa kerjaan teman-teman yang harus aku hendle sendiri.

Kemudain drama yang tidak kalah menarik adalah masa kepanitian yang terpotong masa liburan puasa dan lebaran Idul Fitri. Sekitar sebulan setelah pembentukan panitia masa liburan tiba, dan disana bisa dibayangkan bagaiaman teman-teman panitiah masih harus bekerja dan berfikir terkait acara walau sedang masa liburan. Hal ini tidak bisa ditunda karena mulainya acara tepa hanya dua minggu setelah liburan. Sampai-sampai aku dan beberapa teman panitia lain yang jarang pulang harus ikut merelakan balik liburan cepat untuk persiapan acara.

Drama terakhir adalah ini yang membuatku paling merasa bersalah. Yaitu, peserta diskusi dan pameran yang minim. Jujur aku heran mengapa hal ini bisa terjadi, karena acara yang kami buat ini sepenuhnya gratis dan terbuka untuk umum. Kalau dipikir-pikir promosinya juga lumayan, persebaran poster terkait acara ini masif, nanmun tidak tau apa yang salah sehingga pengunjung tidak sesuai dengan ekpektasi.

Mengapa aku harus merasa bersalah terkait jumlah, jawabanya itu sederhana. Dari awal aku kuliah dan mulai mengikuti kepanitiaan, yang paling aku harapkan dari setiap acara adalah kebermanfaatkan secara menyeluruh bahkan bisa dirasakan oleh setiap orang. Dan disaat aku menjadi ketua dan peserta minim aku merasa amat sangat bersalah.

Berikut beberapa dokumentasi Himmah Fest 1.0 
A post shared by Himmah Fest 1.0 (@himmahfest) on
A post shared by Himmah Fest 1.0 (@himmahfest) on








Tidak ada komentar:

Posting Komentar